Beranda | Artikel
Safinatun Najah: Yang Tidak Puasa dan Yang Bukan Pembatal Puasa
Selasa, 28 Mei 2019

Kali ini kita lihat bahasan siapa saja yang tidak puasa, qadha dan fidyah bagi yang tidak puasa, serta yang tidak termasuk pembatal pausa. Hal ini adalah kelanjutan dari pembahasan Safinatun Najah.  

[Empat Hukum Tidak Puasa]

الإفْطَارُ فِيْ رَمَضَانَ أَرْبَعَةُ أنْوَاعٍ:

1- وَاجِبٌ كَمَا فِيْ الْحَائِضِ وَالنُّفَسَاءِ.

وَ2- جَائِزٌ كَمَا فِيْ الْمُسَافِرِ وَالْمَرِيْضِ.

وَ3- لاَ وَلاَكَمَا فِيْ الْمَجْنُوْنِ.

وَ4- مُحَرَّمٌ؛ كَمَنْ أخَّرَ قَضَاءَ رَمَضَانَ مَعَ تَمَكُّنِهِ حَتَّى ضَاقَ الْوَقْتُ عَنْهُ.

Fasal: Tidak berpuasa di bulan Ramadan ada 4 hukum, yaitu [1] wajib seperti wanita haidh dan nifas, [2] boleh seperti orang musafir dan orang sakit, [3] tidak wajib dan tidak haram seperti orang gila, dan [4] haram seperti orang yang mengakhirkan qadha’ Ramadan hingga mepet waktunya padahal mampu malakukannya (di waktu longgar).

 

[Konsekuensi Karena Tidak Puasa]

وَأقْسَامُ الإفْطَارِ أرْبَعَةٌ أيْضاً:

أوَّلُهَا: مَا يَلْزَمُ فِيْهِ الْقَضَاءُ وَالْفِدْيَةُ، وَهُوَ اثْنَانِ –الأوَّلُ- الإفْطَارُ لِخَوْفٍ عَلَى غَيْرِهِ –وَالثَّانِيْ- الإفْطَارُ مَعَ تَأْخِيْرِ قَضَاءٍ مَعَ إمْكَانِهِ حَتَّى يَأْتِيَ رَمَضَانُ آخَرُ.

وَثَانِيْهَا: مَا يَلْزَمُ فِيْهِ الْقَضَاءُ دُوْنَ الْفِدْيَةِ، وَهُوَ يَكْثُرُ؛ كَمُغْمَى عَلَيْهِ.

وَثَالِثُهَا: مَا يَلْزَمُ فِيْهِ الْفِدْيَةُ دُوْنَ الْقَضَاءِ، وَهُوَ شَيْخٌ كَبِيْرٌ.

وَرَابِعُهَا: لاَ وَلاَ، وَهُوَ الْمَجْنُوْنُ الَّذِيْ لَمْ يَتَعَدَّ بِجُنُوْنِهِ.

Pembagian konsekuensi tidak puasa ada 4, yaitu [1] tidak puasa yang mengharuskan qadha’ dan fidyah, ada 2: pertama berbuka karena khawatir pada orang lain dan kedua berbuka dengan mengakhirkan qadha’ hingga datang Ramadan berikutnya padahal mampu, [2] tidak puasa yang mengharuskan qadha’ tetapi tidak fidyah dan ini banyak terjadi seperti orang pingsan, [3] tidak puasa yang mengharuskan fidyah tanpa qadha’ yakni orang tua renta, dan [4] tidak qadha’ dan fidyah yaitu orang gila yang tidak sengaja gila.

 

[Bukan Pembatal Puasa]

الَّذَيْ لاَ يُفَطِّرُ مِمَّا يَصِلُ إلَى الْجَوْفِ سَبْعَةُ أفْرَادٍ:

1- مَا يَصِلُ إلَى الْجَوْفِ بِنِسْيَانٍ.

2- أوْجَهْلٍ.

3- أوْ إكْرَهٍ.

وَ4- بِجَرَيَانِ رِيْقٍ بِمَا بَيْنَ أسْنَانِهِ وَقَدْ عَجَزَ عَنْ مَجِّهِ لِعُذْرِهِ.

5- وَمَا وَصَلَ إِلَى الْجَوْفِ وَكَانَ غُبَارَ طَرِيْقٍ.

وَ6- مَا وَصَلَ إِلَيْهِ وَكَانَ غَرْبَلَةً دَقِيْقٍ.

7- أوْ ذُبَاباً طَائِراً أوْ نَحْوَهُ.

Fasal: Perkara yang masuk ke rongga mulut tetapi tidak perlu membatalkan puasa ada 7, yaitu [1] apa yang masuk ke rongga mulut karena lupa, [2] kebodohan, [3] dipaksa, [4] ludah yang mengalir di antara sela gigi-gigi tanpa kesanggupan mencengahnya sebagai uzur, [5] apa yang masuk ke rongga mulut berupa debu jalan, [6] apa yang masuk ke dalamnya berupa ayakan tepung atau [7] lalat/burung atau semisalnya (yang masuk ke mulut).

 

Catatan Dalil

Pertama: Keringanan untuk orang sakit dan musafir

Sebagaimana disebutkan dalam ayat,

وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

“Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al-Baqarah: 185).

 

Kedua: Jika qadha’ puasa terlewat hingga Ramadan berikutnya

Dalam Al-Fiqh Al-Manhaji‘ala Madzhab Al-Imam Asy-Syafi’i (1:350) disebutkan, “Bagi yang punya uzur terus menerus hingga Ramadan berikut, maka ia wajib bayar qadha saja tanpa fidyah.” Yang menunda qadha’ puasa hingga masuk Ramadan berikutnya tanpa uzur harus menjalankan dua kewajiban: (1) qadha puasa sesuai jumlah hari yang belum dibayar, (2) membayar fidyah dengan memberi makan kepada orang miskin. Adapun yang mendasari adanya fidyah adalah pendapat sebagian sahabat seperti Abu Hurairah dan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma. Adanya tambahan fidyah ini yang menjadi pendapat Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad. Hal ini berbeda dengan Imam Abu Hanifah yang tidak mengharuskan tambahan fidyah.  

Ketiga: Pengganti puasa wanita hamil dan menyusui

Wanita hamil dan menyusui disamakan dengan orang sakit, ia boleh tidak berpuasa (jika berat). Lalu sebagai pengganti puasanya dirinci jadi dua:

  1. Jika wanita hamil dan menyusui khawatir pada bayinya, maka kewajibannya qadha’ dan fidyah.
  2. Jika wanita hamil dan menyusui khawatir pada dirinya, maka kewajibannya qadha’ saja.

Dalil yang menunjukkan keringanan puasa bagi keduanya adalah hadits dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى وَضَعَ عَنِ الْمُسَافِرِ الصَّوْمَ وَشَطْرَ الصَّلاَةِ وَعَنِ الْحُبْلَى وَالْمُرْضِعِ

Sesungguhnya Allah Tabaraka wa Ta’ala memberi keringanan bagi musafir untuk tidak berpuasa dan memberi keringanan separuh shalat (shalat empat rakaat menjadi tiga rakaat), juga memberi keringanan tidak puasa bagi wanita hamil dan menyusui.” (HR. Ahmad, 5:29; Ibnu Majah, no. 1667; Tirmidzi, no. 715; An-Nasa’i, no. 2277. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan dilihat dari jalur lainnya). Dalil yang menunjukkan kewajiban membayar fidyah adalah hadits berikut.

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ (وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ) قَالَ كَانَتْ رُخْصَةً لِلشَّيْخِ الْكَبِيرِ وَالْمَرْأَةِ الْكَبِيرَةِ وَهُمَا يُطِيقَانِ الصِّيَامَ أَنْ يُفْطِرَا وَيُطْعِمَا مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا وَالْحُبْلَى وَالْمُرْضِعُ إِذَا خَافَتَا – قَالَ أَبُو دَاوُدَ يَعْنِى عَلَى أَوْلاَدِهِمَا – أَفْطَرَتَا وَأَطْعَمَتَا.

Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata mengenai ayat, “Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin“, itu adalah keringanan bagi pria dan wanita yang sudah sepuh yang berat untuk puasa, maka keduanya boleh berbuka dan memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari yang tidak berpuasa. Sedangkan wanita hamil dan menyusui jika khawatir pada anaknya, maka keduanya boleh tidak berpuasa dan memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari tidak berpuasa. (HR. Abu Daud, no. 2318 dan Al-Baihaqi, 4:230).  

Keempat: Yang tidak bisa berpuasa secara permanen terkena fidyah

Para ulama Hanafiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah sepakat bahwa fidyah dalam puasa dikenakan pada orang yang tidak mampu menunaikan qadha’ puasa secara permanen. Hal ini berlaku pada orang yang sudah tua renta yang tidak mampu lagi berpuasa, serta orang sakit dan sakitnya tidak kunjung sembuh. Pensyariatan fidyah disebutkan dalam firman Allah Ta’ala,

وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ

Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.” (QS. Al-Baqarah: 184).  

Bagaimana ukuran fidyah?

  1. Beras setengah sha’ = 1,25 kg/ hari. (Fatwa Syaikh Shalih Al-Fauzan, Syaikh Ibnu Baz, dan Lajnah Ad-Daimah Saudi Arabia)
  2. Satu bungkus makanan berisi lauk pauk untuk satu hari tidak puasa. (Lihat Asy-Syarh Al-Mumthi’karya Syaikh Ibnu Utsaimin, 2:30-31)

Membayar fidyah bisa dibayar ketika hari itu juga pada sorenya atau bisa pula dikumpulkan di akhir Ramadan untuk dibayar sekaligus.  

Kelima: Syarat pembatal puasa berlaku

Syarat pertama: Mengetahui ilmu

Dari Asma’ binti Abi Bakarradhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,

أَفْطَرْنَا عَلَى عَهْدِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – يَوْمَ غَيْمٍ ، ثُمَّ طَلَعَتِ الشَّمْسُ

“Kami pernah berbuka di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari yang mendung lalu tiba-tiba muncul matahari.” (HR. Bukhari, no. 1959). Para sahabat berbuka pada siang hari, akan tetapi mereka tidak tahu. Mereka menyangka bahwa matahari telah tenggelam. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintah mereka untuk mengqadha’.  

Syarat kedua: Dalam keadaan ingat, tidak lupa

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ نَسِيَ وَهُوَ صَائِمٌ, فَأَكَلَ أَوْ شَرِبَ, فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ, فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اَللَّهُ وَسَقَاهُ

Barangsiapa yang lupa sedang ia dalam keadaan puasa lalu ia makan atau minum, maka hendaklah ia sempurnakan puasanya karena kala itu Allah yang memberi ia makan dan minum.” (HR. Bukhari, no. 1933 dan Muslim, no. 1155).  

Syarat ketiga: Berdasarkan keingingan sendiri bukan dipaksa

Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ وَضَعَ عَنْ أُمَّتِى الْخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ

Sesungguhnya Allah menghapuskan dari umatku dosa ketika mereka dalam keadaan keliru, lupa dan dipaksa.” (HR. Ibnu Majah, no. 2045. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).  

Keenam: Menelan sesuatu yang sulit dihindari

Seperti masih ada sisa makanan yang ikut pada air ludah dan itu jumlahnya sedikit serta sulit dihindari dan juga seperti darah pada gigi yang ikut bersama air ludah dan jumlahnya sedikit, maka seperti ini tidak mengapa jika tertelan. Namun jika darah atau makanan lebih banyak dari air ludah yang tertelan, lalu tertelah, puasanya jadi batal. Lihat Shahih Fiqh As-Sunnah, 2:118.  

Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.

 


Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumaysho.Com  

 

 


Artikel asli: https://rumaysho.com/20570-safinatun-najah-yang-tidak-puasa-dan-yang-bukan-pembatal-puasa.html